Curhatan
hati Freddy Budiman
Kamis, 15
Desember 2016
00.15
Merdeka.com - Kejaksaan Agung memastikan
terpidana kasus kepemilikan 1,4 juta ekstasi, Freddy Budiman telah dieksekusi
mati pada Jumat (29/7) sekitar pukul 00.45 WIB. Freddy dieksekusi bersama tiga
terpidana mati lainnya, Michael Titus Igweh (Nigeria), Humprey Ejike (Nigeria),
dan Gajetan Acena Seck Osmane (Nigeria)Freddy pernah menceritakan pengalamannya
selama menjadi gembong narkoba hingga mendapat vonis hukuman mati dari
pengadilan dan menghuni Lapas di Nusakambangan, Jawa Tengah, kepada Koordinator
Kontras Haris Azhar. Pengalaman itu diceritakan Freddy saat Haris tengah
memberikan pendidikan HAM saat masa kampanye Pilpres 2014 silam.
Haris mengatakan,
ketika itu dirinya mendapat undangan dari sebuah organisasi gereja yang aktif
melakukan pendampingan rohani di Lapas Nusakambangan. Haris mengaku, lewat
undangan organisasi gereja inilah dirinya bertemu dengan sejumlah narapidana
dari kasus teroris, korban kasus rekayasa yang dipidana hukuman mati termasuk
terpidana mati Freddy Budiman.
"Saya bertemu
dengan John Refra alias John Kei, juga Freddy Budiman, terpidana mati kasus
Narkoba. Kemudian saya juga sempat bertemu Rodrigo Gularte, narapidana WN
Brasil yang dieksekusi pada gelombang kedua (April 2015)," kata Haris saat
dikonfirmasi merdeka.com, Jumat (29/7).
Haris menceritakan
pertemuan dengan Freddy dimulai saat dirinya diantar seorang pelayan rohani di
sebuah ruangan. Obrolan dengan itu juga diawasi dengan Kalapas Nusakambangan
Sitinjak, dua pelayan gereja, dan John Kei.
"Freddy Budiman
bercerita hampir 2 jam, tentang apa yang ia alami, dan kejahatan apa yang ia
lakukan," ujar Haris.
Menurut Haris,
pembicaraan dimulai dengan pengakuan Freddy Budiman yang siap dihukum mati
akibat menjalankan bisnis narkobanya.
"Pak Haris, saya
bukan orang yang takut mati, saya siap dihukum mati karena kejahatan saya, saya
tahu, risiko kejahatan yang saya lakukan. Tetapi saya juga kecewa dengan para
pejabat dan penegak hukumnya," kata Haris mengingat ucapan Freddy saat
itu.
Haris mengatakan,
pembicaraan selanjutnya mengenai Freddy yang mengaku memiliki bos besar berasal
dari China.
"Saya bukan
bandar, saya adalah operator penyelundupan narkoba skala besar, saya memiliki
bos yang tidak ada di Indonesia. Dia (bos saya) ada di China. Kalau saya ingin
menyelundupkan narkoba, saya tentunya acarain (atur) itu. Saya telepon polisi,
BNN, Bea Cukai dan orang-orang yang saya telpon itu semuanya nitip (menitip
harga). Menurut Pak Haris berapa harga narkoba yang saya jual di Jakarta yang
pasarannya Rp 200-300 ribu itu?" kata Freddy kepada Haris.
Haris terkejut dengan
pengakuan Freddy itu. Lantas dia menjawab kalau ekstasi yang diedarkannya di
Indonesia senilai Rp 50 ribu. Namun menurut Haris, mendengar jawabannya itu
Freddy langsung menjawab salah.
"Salah. Harganya
hanya Rp 5.000 perak keluar dari pabrik di China. Makanya saya tidak pernah
takut jika ada yang nitip harga ke saya. Ketika saya telepon si pihak tertentu,
ada yang nitip Rp 10.000 per butir, ada yang nitip Rp 30.000 per butir, dan itu
saya tidak pernah bilang tidak. Selalu saya okekan. Kenapa Pak Haris?"
jelas Freddy.
Menurut Haris, Freddy
menjawab sendiri karena dirinya mengaku meski banyak yang menitip harga dirinya
masih bisa mendapat keuntungan hingga Rp 200 ribu. Sehingga menurut Freddy, dia
tidak merasa dirugikan atas permintaan pihak tersebut.
"Karena saya
bisa dapat per butir Rp 200 ribu. Jadi kalau hanya membagi rejeki Rp 10.000-
30.000 ke masing-masing pihak di dalam institusi tertentu, itu tidak ada
masalah. Saya hanya butuh 10 miliar, barang saya datang. Dari keuntungan
penjualan, saya bisa bagi-bagi puluhan miliar ke sejumlah pejabat di institusi
tertentu," kata Freddy kepada Haris
Tidak ada komentar:
Posting Komentar